Tempe Goreng Untuk Tuan Obama

Photobucket
Saya menemukan satu artikel menarik di Jakarta Post edisi 9 November lalu berjudul “On Obama: Hopeful, inspired but never wishful” (link ke tulisan tersebut ada di akhir artikel ini). Dalam artikel itu, Lynda Ibrahim si penulis secara kritis antara lain menyoroti bagaimana kita orang Indonesia –saya termasuk agaknya- yang larut dalam euforia kemenangan Obama, hanya karena dia pernah menjalani masa 4 tahun di Indonesia, pernah sekolah di SD Negeri biasa seperti kebanyakan kita, ikut upacara bendera dan membaca Pancasila setiap Senin, makan bakso segede bola tennis, main kasti, punya saudara angkat orang Indonesia dan masih banyak kenangan lagi.

Tulisan itu dalam penafsiran saya menyadarkan kita bahwa ‘bulan madu’ dengan Obama cepat atau lambat akan berakhir dan dengan segala hormat kepada fans Obama di Indonesia, saya pikir kita memang harus mulai segera keluar dari masa bulan madu itu.

Obama bagaimanapun adalah orang Amerika. Ingat, dia berjuang keras dari bawah untuk bisa diakui sebagai orang Amerika tulen, bukan orang Indonesia. Ketika Indonesia bangga memanggilnya dengan ‘Barry’ sebagaimana kawan-kawan SDnya dulu memanggilnya, konon saat kuliah dia malah minta dipanggil ‘Barack’ sebagai bagian dari upayanya untuk menegaskan identitas budayanya sebagai warga Afro-Amerika, bukan ‘Afro-Indonesia’. Malah pengalaman 4 tahun di Indonesia ditambah nama tengahnya ‘Hussein’ sempat nyaris menjadi ganjalan di masa kampanyenya saat lawan politiknya menyebarkan isu bahwa ia muslim. Dan sekarang Barack Hussein Obama adalah Presiden Amerika Serikat, bukan Indonesia.
***

4 Tahun Obama Hidup di Indonesia, Terus Kenapa?

Apakah lantas kenangan Obama selama 4 tahun di Indonesia akan membuat Amerika lebih baik pada kita? Secara pribadi, Obama mungkin. Tapi dia sekarang mewakili Amerika. Oke, George Bush memang brengsek. Super brengsek malah! Tapi dia tidak sendirian mengacaukan dunia. Ada para senator Partai Republik di belakangnya. Nah, Partai Demokratnya Obama juga bukan partai demokratnya SBY. Tidak sedikit para senator Demokrat yang mendukung perang di Irak, misalnya. Konon ada juga orang demokrat yang berperan menyokong embargo senjata ke Indonesia sehingga membuat armada pesawat F-16 kita jadi seperti armada kapal capung karena terhalang membeli suku cadang. Tidak sedikit pula senator di Amerika sana yang tidak suka Indonesia atau masih percaya bahwa negara berpenduduk mayoritas muslim ini sarang teroris.

Bahkan, ada kekhawatiran bahwa Obama sendiri punya niatan merombak tatanan rundingan perdagangan bebas dunia yang sudah bertahun-tahun diperjuangkan negara dunia ketiga demi melindungi kepentingan negaranya, Amerika! Jangan lupa, kepentingan macam inilah yang membuat banyak orang Indonesia tidak sadar bahwa sudah belasan tahun terakhir ini kita makan tempe yang kedelainya ditanam oleh petani di Amerika sana, sementara petani kedelai kita sengsara setengah mati.

Dan Obama kini tengah bersiap menggodok kebijakan pemerintahannya setelah ia dilantik 20 Januari nanti. Bisa dipastikan, dia akan mengawali kepemimpinannya dengan membenahi ekonomi Amerika yang carut marut, bukan ekonomi Indonesia yang kini tengah jadi ajang pesta pora para spekulan valas gara-gara nilai rupiah yang naik turun tidak karuan.

***

Yes, We Can. Can You, Indonesia ?

Sementara itu pada saat kita masih larut dalam euforia keajaiban anak menteng yang jadi presiden Amerika, saya khawatir kita lupa bahwa Indonesia sebentar lagi harus memilih pemimpinnya sendiri. Ya entah lupa, entah tidak perduli.

Padahal sampai kapan sih kita mau larut dalam kebanggaan semu bahwa ada SD Negeri di Indonesia yang bisa menghasilkan presiden untuk Amerika? Lha, orang Amerika saja tidak pernah bising walaupun ada salah satu universitasnya yang bisa menghasilkan presiden untuk Indonesia (siapa hayo hehe.. ).

Kalaupun ada satu keajaiban dari Tuan Obama yang harusnya bisa menguntungkan kita, maka itu harusnya adalah inspirasi dari perjuangannya. Semboyan “Yes, We Can!” yang sering diteriakkan Obama terbukti bisa mempersatukan lebih dari 60 persen orang Amerika yang punya hak pilih, kulit hitam kulit putih, laki-laki perempuan, untuk memilih seorang warga minoritas menjadi penghuni Gedung Putih. Edan nggak tuh?

Ya kalau mau dibanding-bandingkan, kita di Indonesia juga punya sih sosok pemimpin yang dipilih langsung oleh 60,87 persen pemilih. Dia juga asalnya dari partai yang namanya sama: Demokrat. Semboyannya juga persis sama. Tapi kenyataannya, bisa apa kita sekarang setelah hampir lima tahun lalu ikut berteriak “Bersama kita bisa?”

Inspirasi keberhasilan perjuangan Obama menunjukkan bahwa tidak ada yang tidak mungkin; bahwa kedaulatan sepenuhnya ada di tangan rakyat, bukan sekedar bagian dari kata-kata manis dalam konstitusi; bahwa ini bukan lagi eranya politisi jadul yang itu-itu juga, yang sumpah makin lama makin bikin eneg, persis seperti enegnya orang Amerika dengan Bush: dan bahwa hanya kita, rakyat, yang bisa mengalahkan mereka!

***

I Have A Dream..

Sejak kampanye pemilu di Amerika dimulai, saya pun mulai bermimpi ada sosok orang Indonesia yang benar-benar bisa menjadi inspirasi seperti Obama. Bisa menggerakkan kebersamaan rakyat tanpa harus dibayar sekitar 50 ribu perak per orang plus kaos murahan untuk ikut turun berkampanye ke jalan.

Malah saya bermimpi ada calon pemimpin kita yang bisa menggerakkan rakyat untuk justru secara sukarela menyumbang bagi perjuangannya ke kursi RI-1, sehingga seperti Obama kita bisa menolak bantuan dana pemilu dari negara dan menjadi lebih independen.

Terlebih lagi, saya punya mimpi bahwa setiap dari kita bisa bersama mengusung pemimpin itu ke Istana dan menuntutnya untuk merubah segala kebobrokan yang sudah mendarah daging di sistem politik kita.

Sambil senyam-senyum sendiri, saya bermimpi di siang bolong bahwa suatu ketika, saat Presiden Barack Hussein Obama mengadakan kunjungan kenegaraan ke Indonesia, sosok pemimpin yang berhasil kita usung bersama itu kelak akan bisa berdiri sejajar dengan seorang presiden negara –yang katanya- adidaya itu, tanpa ada rasa inferior sedikitpun. Tidak seperti waktu kunjungan Bush ke Bogor dulu yang bak seorang dewa kahyangan turun ke bumi, sampai-sampai beberapa pemimpin kita pun harus menjalani pemeriksaan ketat untuk bisa bertemu dengannya. Huh !

Mimpi saya masih berlanjut. Saat itu, sambil duduk-duduk di beranda istana Bogor sambil melihat pemandangan yang asri dan tidak harus dirusak untuk tempat mendarat helikopter, presiden pilihan kita itu pun akan menyodorkan sepiring tempe goreng yang masih panas mengepul kepada Obama dan dengan penuh percaya diri berkata:

“Tuan Obama, silahkan dicicipi. Ini tempe goreng asli Indonesia, yang dibuat dari kedelai yang ditanam oleh petani-petani Indonesia, bukan petani kedelai dari negara tuan!”

Gila, baru mimpi aja udah merinding saya membayangkannya.. Haha.. ya mimpi memang. Tapi mimpi kan bisa jadi kenyataan. Siapa sih yang menyangka mimpi Martin Luther King terwujud 45 tahun kemudian oleh Obama?

Masak kita tidak bisa seperti orang Amerika? Masak sih kita hidup seperti ini lagi untuk masa 5 tahun ke depan?

Ayo bangkit Indonesiaku! Pasti kita bisa!


0 comments: